Beberapa tahun belakangan ini harmoni dan keintiman antar manusia tampaknya mengalami peluruhan masif. Manusia modern seperti terlempar di tengah gurun pasir yang membara. Di tanah kerontang ini, manusia disuguhi dramaturgi politik dan ekonomi yang jauh dari keelokan dan keadaban.
Babak demi babak adalah intrik dan tragedi yang sarat anarkisme verbal dan fisik. Penonton dipisah dalam label “kebinatangan” untuk dimanipulasi dan diadu-domba. Kain putih yang kita kenakan pun robek.
Tak heran, penonton lalu mengadopsi, mengimitasi, dan memodifikasi laku aktor politik dan ekonomi itu, dalam bentuknya yang paling gila; kekerasan atas nama cinta dan simulacra air mata. Tindakan kekerasan dicampur dengan keluhuran untuk menemukan justifikasi teologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kekerasan demi kekerasan yang terus diagungkan akan memproduksi situasi yang digambarkan Jean-Paul Sartre (Situation II, 1948) sebagai “kekerasan yang lumrah”, di mana sikap dan tindakan penuh “cinta” adalah sebuah absurditas.
Homo Homini Lupus
Kekerasan setua sejarah manusia itu sendiri. Kekerasan yang terus dilangsungkan dan dilanggengkan dapat mengkristal menjadi sebuah pola kebudayaan. Perilaku dan moralitas sebuah masyarakat itu lantas ditentukan oleh kebudayaan tersebut. Terjadi silang pengaruh antara kebudayaan dan masyarakat, vice versa.
Pandangan itu oleh Melville J. Herskovits (1972) dan Bronislaw Malinowski (1944) disebut cultural-determinisme. Maka, jika suatu masyarakat itu mengutamakan jalan kekerasan, maka sebenarnya ia tengah dipengaruhi oleh seperangkat nilai atau budaya kekerasan. Nilai-nilai kekerasan tersebut lalu diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain.
Dalam teropong filsafat politik, Thomas Hobbes menyatakan dalam bukunya Leviathan (1651) bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam manusia. Dia meyakini manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar, dan berpikir pendek.
Hobbes mengatakan, “manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus)”. Menurutnya, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam politik ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada yang memerintah.
Karena itu, dalam konteks stabilitas keamanan dan politik, Hobbes menyarankan pemerintahan suatu negara untuk menggunakan kekerasan. Pandangan Hobbesian ini disempurnakan oleh Nicolo Machievali, bahwa kekerasan (represi) itu cara paling absah untuk meraih dan mempertahanan kekuasaan.
Dalam Le Prince (1513), manuskrip kecil yang ditujukan kepada puta mahkota Florence Italia, Laurent II de Médicis, Machieveli merumuskan teori dan filsafat politiknya yang mengagungkan kekerasaan untuk membangun sebuah negara yang kuat dan berwibawa.
Kekerasan tidak hanya dimaknai dalam pengertian yang tunggal. Kekerasan itu beragam jenis dan bentuknya. Jean Claude Chesnay (Histoire de la violence, 1982) menyebutkan, kekerasan itu bermacam-macam, tidak tunggal, dinamis, sering tidak dapat diindera, selalu berubah dan seringkali merujuk pada realitas yang sangat berbeda-beda (lokus, tempo, kondisi, dan keadaan).
Dalam konteks itu, kekerasan juga dapat berarti fisik, psikis, ekonomi, dan juga institusi selama kekerasan itu merujuk pada satu tindakan penggunaan superioritas atas yang lainnya–sebagaimana dalam pengertian aslinya.
Adapun kekerasan yang dilakukan sebuah institusi, atau yang disebut dengan kekerasan institusional, adalah tindakan penggunaan institusi untuk memaksa orang lain menerima gagasan, cara pandang, dan juga produk-produk yang dihasilkan oleh institusi tersebut.
Dalam hal ini, jika suatu institusi negara atau swasta tidak terbebas dari unsur-unsur kekerasan institusional, maka institusi tersebut bukanlah institusi yang adil—sebagaimana dikatakan Paul Ricoeur, psikoanalis Perancis.
Filsafat “homo homini lupus” bertabrakan dengan ajaran Kitab Suci. Dalam Islam, semua manusia dilahirkan dalam kesucian, fitrah (yuuladu ‘ala al-fithrah): bayi adalah kapas putih tak ternoda. Paradigma ini selaras dengan Jean Jacques Rousseau, filosof Perancis abad Pencerhan itu. Rousseau mengungkapkan, pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, serta tidak egois.
Peradaban serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya, menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Ia yakin kekerasan yang dilakukan bukanlah sifat murni dan asali manusia. Lebih jauh, dalam konteks modern, pandangan Hobbesian dan Machivelian di atas dikecam oleh para demokrat, aktivis HAM dan sebagainya karena tidak sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai humanisme yang dilahirkan Abad Pencerahan.
Epos Kekerasan
Di balik kemegahan Candi Borobudur, epos dan heroisme Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada serta kesantunan budaya Walisongo, bangsa Indonesia mewarisi budaya kekerasan yang mengerikan berupa cerita, intrik, tragedi, pembunuhan, ambisi dan pengkhianatan penguasa Nusantara.
Dalam buku teks-teks sejarah, siswa SD hingga perguruan tinggi disuguhi muatan sejarah yang menjadikan pelbagai jenis kekerasan elite penguasa Nusantara sebagai muatan utama.
Siswa dipertontonkan dan dituntun untuk mencerap serta mewarisi sebuah kebudayaan rendahan para elite Nusantara yang bau anyir darah dan nanah. Jarang sekali, teks sejarah di sekolah dan universitas menyajikan budaya cinta dan prestasi.
Dari buku sejarah, kita dikenalkan konflik kekerasan Ken Arok di Singasari di masa kerajaan Hindu hingga Amangkurat II di era kesultanan Islam Mataram.
Dalam buku History of Java (1817), Sir Thomas Raffles mencatat kekejaman Amangkurat I yang melakukan pembunuhan terhadap 6000 ulama, santri dan keluarganya yang dikumpulkan di tengah alun-alun dan dipanah tak kurang dalam waktu 30 menit.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan pula kesadisan Amangkurat II yang mencincang dan mengambil organ hati Trunojoyo dan lantas membagi-bagikannya kepada para bupati untuk memakannya di balairung istana.
Epos konflik dan kekerasan terus berlanjut di era kolonialisme Belanda yang menerapkan politik ‘pecah belah’. Karena hasutan dan kepicikan kolonial, sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara penuh dengan cerita kekerasan, peperangan, pembunuhan, dan pengkhianatan.
Penjajah Belanda telah menanamkan budaya saling membenci sesama anak bangsa selama tiga setengah abad. Selama itu pula, bangsa kita tanpa sadar dicekoki untuk pandai menjilat ludah sendiri, membenci, membunuh, berkhianat, dan berpecah belah.
Kemerdekaan Indonesia tidak membebaskan kita dari warisan budaya konflik dan kekerasan. Budaya konflik dan kekerasan atas nama ideologi politik, latar sosial dan budaya serta warna kulit dan ras mengemuka.
Panggung politik di awal kemerdekaan justru menjadi arena persaingan politik yang tajam. Di akhir kekuasaan Orde lama, tanah tumpah darah bersimbah darah oleh G30S/PKI. Tercatat sebanyak setengah juta jiwa anak bangsa tewas terbunuh. Tragedi kemanusiaan yang paling kelam dalam sejarah Indonesia modern mencoreng mukanya sendiri.
Warisan kekerasan dan konflik terus bertahan pada masa Orde Baru. Berbagai kasus pelanggaran HAM dengan ratusan korban tumpah makin membuat dunia terhenyak: mengapa pembunuhan dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip HAM kemanusiaan itu terjadi di sebuah negeri yang menjunjung tinggi religi?
Semua orang berharap Reformasi menghadirkan sebuah tatanan yang memungkasi ketidakteraturan politik, ekonomi, dan hokum sebagai warisan dari Orde Baru. Namun, harapan itu meluruh tatkala Reformasi justeru menggerogoti dan menghapus perasaan dan kenikmatan kita sebagai bangsa.
Sabang sampai Merauke, parade kekerasan dan konflik hampir nyaris tidak terputus. Masing-masing dari kita terjebak pada pencarian dan pencapaian kepuasan pribadi atas nama kepentingan agama dan suku, hasrat ekonomi, dan libido politik yang paling jalang.
Singkat kata, egoisme-feodalistik berupa kekerasan yang membudaya telah sempurna mengerangkeng setiap kita pada pencapaian tujuan kuasi-nyata. Situasi “hilangnya keintiman” semakin mencekam, ketika penguasa menyerah dan atau malah melanggengkan keadaan ini guna pencapaian syahwat pribadi dan golongannya yang paling jorok: kekuasaan dan uang.
Kita semuanya tentu miris, jika situasi “hilangnya keintiman” itu berlangsung terus menerus. Ketika egoisme dalam wujudnya yang bejat selalu mengalahkan sedekah cinta dan kebaikan. Tetapi kita tidak perlu pesimis, sebab sikap menyerah kalah pada egoisme tidak lain adalah sebuah kepengecutan dalam menghadapi realitas.
Amorisme
Solidaritas (solidarity, ukhuwah) dan cinta (amorism, hub wa mahabbah) sesungguhnya melimpah ruah dalam diri dan tradisi kita. Itulah modal sosial yang sering kita ingkari keberadaannya.
Padahal, dalam guratan sejarah bangsa, nenek moyang kita mengajarkan cinta, welas asih, darma, gotong royong, toleransi dan keterbukaan. Nenek moyang, sejatinya, mewariskan budaya ramah bukan amarah.
Kealpaan kita sekarang yang mencibir nilai-nilai maha adil itu selayaknya musti diganti dengan spirit menyalakan kembali obor cinta. Untuk itu, tidak ada alasan satupun untuk menunda penghormatan dan penyanjungan kita pada cinta: cinta adiluhung yang sudah terpatri dalam diri setiap individu.
Cinta adiluhung atau etik, bagi Alain Badiou (Eloge de l’Amour, 2009), adalah sebuah sikap dan perasaan untuk menerima keragamaan pihak lain yang berbeda, bukan penyamarataan (identifikasi) yang dipaksakan. Kita musti yakin bahwa cinta adiluhung ini dapat mengembalikan keintiman dan solidaritas, dalam merajut kembali jalinan kasih antar warga negara yang terkoyak.
Cinta sangat esensial untuk mengobati duka-lara anak bangsa akibat pertikaian dan perselisihan. Cinta mengantarkan kita pada sikap saling menghargai, menghormati keragaman dan perbedaan. Spirit cinta seperti ini diyakini dapat meluruhkan daki-daki egoisme yang berpusat pada pemujaan terhadap hasrat individu.
Cinta menghidupkan kemanusiaan, sedangkan egoisme justru menghancurkan diri. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang marak adalah wujud banal kekalahan cinta dari egoisme. Koruptor adalah makluk egois, yang peduli hanya pada dirinya.
Koruptor adalah makluk terburuk di muka bumi, sebab ia hanya peduli pada nasib perut yang menggembung dan bawah perutnya yang rakus. Korupsi dengan demikian adalah antitesis terhadap cinta.
Kekerasan verbal hingga terorisme juga bertabrakan dengan ajaran cinta. Teroris hanya mengejar kepuasan teologis untuk diri dan kelompok. Ia mengaduk-aduk ketakutan dan kematian orang lain, demi sebuah imajinasi cinta yang semu dan buram. Meski mulutnya menyanjung cinta, tetapi teroris itu sesungguhnya, seperti koruptor, adalah makhluk paling egois yang jorok dan menjijikkan.
Kita optimis, laku cinta dan keintiman antar warga di Republik ini akan tetap lestari. Cinta adalah modal bangsa ini bertahan ribuan tahun silam hingga akhir masa nanti. Cinta adalah antidote bagi barbarisme dan kekerasan banal. Dan cinta mengembalikan hakikat kemanusiaan kita untuk merasakan kembali sebuah “komunitas takdir” sebagai makhluk Tuhan yang sama dan setara.